Oleh : Ghina Nur Kamila
MEMOonline.co.id- Pulau Madura merupakan salah satu pulau yang berada pada lautan Indonesia, tepatnya sebelah timur pulau Jawa.
Suku Madura adalah nama suku yang kerap kali kita temukan hampir di seluruh wilayah Nusantara. Ini dikarenakan mental dan jiwa orang Madura yang sangat hobi merantau untuk mencari pundi-pundi nafkah yang akan mereka berikan kepada keluarganya.
Sama halnya dengan suku yang lainnya, Madura juga mempunyai budaya yang telah melekat hebat pada diri mereka.
Salah satunya adalah peribahasa “Bhappa Bhabbu’ Ghuru Rato” yang mempunyai makna sangat dalam.
Peribahasa ini juga kemudian menjadi budaya yang selalu mengikat mereka untuk menjadi manusia dengan peradaban tinggi.
Peribahasa ini sebenarnya dibuat untuk masyarakat madura, agar mereka lebih bisa dan mampu dalam mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam yang telah melekat sejak dini.
Masyarakat Madura sangat kental dan memegang kuat ajaran agama, akan tetapi banyak dari mereka yang justru ‘dilema’ dan tidak linear dengan pola perilakunya.
Untuk memahami secara mendalam tentang peribahasa ini, alangkah baiknya agar kita memecah satu-satu arti dari pribahasa ini. Yang pertama adalah Bhappa’ dan Bhabbu’ (Bapak dan Ibu).
Dalam menghadapi bapak dan ibu kita atau orang tua kita, tentulah kita harus hormat dan patuh, karena restu orang tua itu sangatlah penting.
Bahkan dalam ajaran Islampun, perkataan “ah” itu dilarang dikatakan anak kepada orangtuanya. Maka sangat pentinglah kita memperhatikan adab sebagai seorang anak kepada kedua orangtuanya.
Kemudian ada Ghuru, ghuru disini yang dimaksud adalah guru atau orang yang memberikan kita sebuah ilmu. Guru menempati posisi hierarki setelah bapak dan ibu.
Guru yang dimaksud disini lebih mengarah kepada kyai yang mengasuh pondok pesantren atau sekurang-kurangnya adalah guru agama, karena mereka telah mengajarkan kita mengenai tata cara ibadah dan hidup sesuai dengan aturan Allah.
Yang terakhir adalah rato. Rato disini dimaksudkan kepada para pemimpin yang ada di negri ini. Baik dari level dilingkup kecil, misalnya RT, RW, kepala desa, bupati hingga presiden.
Pemimpin juga sepatutnya kita hormati, karena seorang pemimpin adalah seseorang yang akan memutuskan bagaimana sebuah komunitas kita bisa berjalan dengan seadil-adilnya.
Dalam ajaran Islam, dikatakan bahwa ridho Allah bergantung pada ridhonya orangtua, sedangkan murka Allah bergantung pada murka orang tua. Sabda ini mungkin sudah tidak asing di telinga kita.
Namun, apakah kita sudah melakukannya? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Patuh terhadap orangtua bukan hanya agar kita mendapatkan ridho-Nya dan jauh dari murka-Nya, akan tetapi hal ini lebih daripada itu.
Bahkan menurut psikologi, sikap anak yang sudah dibiasakan oleh lingkungannya seperti ini, akan mengalami regulasi emosi yang baik, dimana hal itu akan mempengaruhi kepribadiannya kelak.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena kepribadian seorang anak kecil itu sudah bisa ditentukan sejak mereka bayi. Pola asuh orangtua yang menerapkan nilai-nilai kebaikan pada dirinya sejak usia satu tahun hingga dua belas tahun pertama akan mempengaruhi setiap ajang kehidupannya (Teori Freud).
Misalnya saja, tutur kata halus yang dicontohkan oleh orangtuanya, jika dilakukan secara terus menerus maka anak yang tumbuh itu akan menjadikannya seseorang yang selalu halus dan lembut dalam perkataan. Namun tentunya hal itu tidaklah mudah.
Hal ini dikarenakan dalam perjalanan hidupnya, anak akan mudah bertemu dan menemukan hal baru yang lebih asik untuk ditiru.
Misalnya saja, temannya saat telah memasuki bangku taman kanak-kanak atau gadget yang diberikan oleh orangtua pada saat umurnya belum genap sepuluh tahun.
Biasanya kebiasaan yang mereka lakukan perlahan akan memberikan pengaruh yang sangatlah besar dalam perkembangan anak, maka sebagai orangtua, mereka harus pintar-pintar dalam mengawasi anaknya. Begitu pula dengan adanya peribahasa “Bhappa’ Babbhu’ Ghuru Rato” ini.
Kalangan orangtua suku Madura sangat dianjurkan untuk senantiasa melestarikan dengan cara mencontohkan perilaku dan sikap yang mencerminkan sikap kepatuhan terhadap orangtua, guru dan pemimpin.
Misalnya dengan perilaku-perilaku sederhana, contohnya membiasakan cium tangan kepada yang lebih tua, agak membungkuk ketika berjalan di hadapannya, dan tidak berbicara dengan volume tinggi kepadanya.
Begitulah pelestarian peribahasa ini kepada generasi penerusnya sehingga bisa mengakar dalam jiwa mereka.
Semoga dengan adanya peribahasa yang singkat namun berkelas ini, kita semua bisa meneladaninya, sehingga kelak menjadi orang yang mempunyai banyak keberuntungan dalam hidup.
Penulis : adalah mahasiswa prodi Tasawuf Psikoterapi, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Sunan Ampel Surabaya