Oleh : SAMAUDDIN
MEMOonline.co.id, Sumenep- Sebagai institusi pendidikan agama, pesantren memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan moral para santri.
Namun, belakangan ini muncul pertanyaan terkait keterlibatan santri dalam aktivitas politik, khususnya ketika mereka dimobilisasi untuk kepentingan Pilkada.
Apakah tindakan tersebut sesuai dengan prinsip syariah Islam?
Beberapa ulama dan pakar hukum Islam berpendapat bahwa keterlibatan dalam politik bisa menjadi bagian dari upaya memperjuangkan nilai-nilai Islam di ranah publik.
Namun, mereka juga menekankan bahwa mobilisasi santri harus dilakukan dengan tetap menjaga independensi dan kebersihan niat.
Pemanfaatan santri untuk kepentingan politik yang bersifat pragmatis tanpa mempertimbangkan aspek moral dan etika dapat menimbulkan penyimpangan dari ajaran Islam.
Di sisi lain, ada juga yang menilai bahwa santri sebaiknya difokuskan pada pendidikan agama dan tidak terlibat dalam politik praktis.
Mereka berargumen bahwa politik sering kali membawa kepentingan yang dapat merusak integritas moral dan spiritual para santri.
Dalam konteks ini, banyak pihak mendesak agar setiap keterlibatan pesantren dan santri dalam politik harus didasari oleh niat untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan, bukan sekadar kepentingan kekuasaan.
Islam mengajarkan agar setiap tindakan, termasuk dalam politik, harus berdasarkan prinsip keadilan, kebenaran, dan kemaslahatan umat.
Meski demikian, perdebatan masih berlanjut, dan setiap pesantren mungkin memiliki pandangan yang berbeda terkait keterlibatan dalam politik Pilkada.
Yang pasti, pemimpin pesantren diharapkan tetap menjaga pesantrennya sebagai lembaga yang netral dan tidak terjebak dalam politik praktis demi menjaga keutuhan pesantren sebagai pusat pendidikan moral dan agama.
Memobilisasi santri untuk kepentingan politik Pilkada memerlukan pertimbangan mendalam dari aspek syariah dan etika.
Jika niatnya murni untuk kemaslahatan umat dan tidak sekadar untuk kepentingan kekuasaan, maka keterlibatan santri bisa saja sejalan dengan syariah.
Namun, jika terdapat unsur manipulasi atau kepentingan yang tidak jujur, hal tersebut bisa melanggar prinsip-prinsip Islam.
**Politik Praktis Tidak Sejalan dengan Budaya Masyarakat Sumenep**
Sumenep, salah satu daerah di Madura yang dikenal dengan tradisi pesantrennya yang kuat, sering kali menjadi sorotan dalam setiap perhelatan politik.
Pesantren di Sumenep memiliki pengaruh yang signifikan dalam kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat.
Namun, muncul pertanyaan mengenai apakah memanfaatkan santri untuk kepentingan politik praktis sejalan dengan budaya dan nilai-nilai masyarakat Sumenep.
Pesantren di Sumenep tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama, tetapi juga tempat pembentukan karakter yang menjunjung tinggi moralitas dan nilai-nilai kejujuran.
Dalam budaya Madura, termasuk di Sumenep, para kiai dan santri memegang peranan penting sebagai tokoh panutan.
Kiai dianggap sebagai sosok yang memiliki otoritas moral dan spiritual yang tinggi, sehingga setiap tindakan mereka memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat.
Beberapa pihak berpendapat bahwa melibatkan santri dalam politik praktis berpotensi merusak independensi dan moralitas pesantren.
Budaya masyarakat Sumenep yang menghormati integritas pesantren bisa terganggu jika santri dipandang sebagai alat politik untuk kepentingan tertentu.
Apalagi jika keterlibatan tersebut tidak murni demi kebaikan bersama, melainkan demi kekuasaan.
Namun, di sisi lain, ada pandangan yang menyatakan bahwa budaya masyarakat Sumenep yang menghormati para kiai dan pesantren juga memberikan ruang bagi mereka untuk terlibat dalam proses politik, asalkan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan umat.
Politik, dalam konteks ini, bisa menjadi sarana untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat jika dilakukan dengan cara yang benar dan berlandaskan etika.
Sejumlah tokoh masyarakat Sumenep menekankan bahwa pesantren seharusnya tetap menjadi lembaga yang netral, tidak terjebak dalam politik praktis.
Mereka mengingatkan bahwa keterlibatan santri dalam politik harus dilakukan dengan kehati-hatian agar tidak mengorbankan nilai-nilai moral yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Sumenep.
Karena, memanfaatkan santri untuk kepentingan politik praktis dapat dianggap bertentangan dengan budaya masyarakat Sumenep, terutama jika dilakukan dengan tujuan yang pragmatis.
Budaya Sumenep yang menghormati pesantren sebagai pusat moral dan spiritual menuntut agar setiap tindakan politik yang melibatkan santri dilakukan dengan penuh tanggung jawab, transparansi, dan demi kepentingan umat, bukan sekadar kepentingan politik sesaat.
**Tidak Sejalan dengan Prinsip Demokrasi**
Dalam sistem demokrasi, semua warga negara memiliki hak untuk terlibat dalam proses politik, termasuk santri.
Namun, yang menjadi masalah adalah ketika santri dimobilisasi atas nama agama atau kepentingan pesantren tanpa mempertimbangkan kebebasan individu untuk menentukan pilihan politik secara mandiri.
Pakar politik menilai bahwa demokrasi sejatinya harus memberikan ruang bagi setiap individu untuk memilih tanpa tekanan atau pengaruh yang berlebihan dari pihak manapun, termasuk dari tokoh agama.
Di sisi lain, banyak yang berpendapat bahwa keterlibatan santri dalam politik adalah bagian dari hak demokratis mereka sebagai warga negara.
Namun, jika pemanfaatan santri hanya bertujuan untuk mengeruk suara tanpa memberikan pendidikan politik yang memadai, hal ini justru bertentangan dengan semangat demokrasi.
Demokrasi menuntut adanya proses pendidikan politik yang sehat, di mana pemilih dapat memahami visi dan misi calon tanpa paksaan atau manipulasi.
Dengan demikian, penggunaan santri untuk kepentingan politik dalam Pilkada harus dilihat dengan hati-hati.
Demokrasi mengedepankan kebebasan dan kesetaraan dalam memilih, bukan mobilisasi berbasis kelompok yang dapat merusak substansi dari pemilihan yang jujur dan adil.
Dan pemanfaatan santri untuk kepentingan politik dalam Pilkada dapat menjadi masalah jika dilakukan dengan cara yang manipulatif dan menekan kebebasan individu.
Praktik ini hanya bisa dianggap sejalan dengan demokrasi apabila santri diberi kebebasan penuh dalam menentukan pilihan politiknya tanpa pengaruh yang tidak sehat.
**Hindari Pesantren Bertransformasi Menjadi Lembaga Politik Praktis**
Perdebatan mengenai peran pesantren dalam politik praktis kian hangat di kalangan masyarakat.
Beberapa pihak menyatakan bahwa pesantren saat ini telah bertransformasi menjadi lembaga politik, bukan hanya sebagai tempat pendidikan agama.
Hal ini terlihat dari keterlibatan sejumlah pimpinan pesantren dalam politik, baik sebagai kandidat maupun pendukung tokoh tertentu.
Mereka yang setuju dengan transformasi ini berpendapat bahwa pesantren memiliki pengaruh besar dalam masyarakat dan dapat berperan penting dalam menjaga moralitas politik.
Pesantren dianggap mampu menyaring calon pemimpin yang berintegritas dan memiliki wawasan keislaman yang kuat.
Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa keterlibatan pesantren dalam politik praktis bisa mengganggu netralitas dan tujuan utamanya sebagai lembaga pendidikan.
Beberapa orang berpendapat bahwa politik bisa memecah belah umat dan merusak citra pesantren sebagai tempat yang suci dan jauh dari kepentingan duniawi.
Bagaimana menurut Anda? Apakah pesantren seharusnya tetap fokus pada pendidikan agama atau justru berperan aktif dalam politik praktis.
Penulis : adalah Wartawan MADYA yang tergabung di PWI Sumenep